Syech Nawawi al Bantani |
Kelahiran dan Pendidikan
Kelahiran
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan nama
Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup
dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara,
sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten
(Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid
Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada
keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12
dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi
Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas,
yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara,
nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten,
‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas.
Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur
5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat
potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya
keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula
mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15
tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena
karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir
pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah
banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah
ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima,
Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh
Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh
Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di
Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga
ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh
Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.
Nasionalisme dan
Gelar-Gelar
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang
ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktik-praktik
ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia
Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat.
Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan
perlawananterhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi
gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan
beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang
sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen
tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh
Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran
Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga
menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.
Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera
kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama
30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan
hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan
kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali,
Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan,
tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai
penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang
dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan
tasawwuf.
Nama beliau semakin melejit ketika beliau
ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi.
Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’
Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai
ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di
negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas
kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan
nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di
perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia
Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk
menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai
orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil
Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak
cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar
seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana,
pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi,
Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi
adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban
demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari
menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H.
Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus,
K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar
santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab
fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya
itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya
setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah
dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah,
Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat
bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang
menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga
menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar
dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat
gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama
Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut
Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab
Kuning Indonesia.
Karya-Karya dan Karamah
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama
asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min
Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa
lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis
bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus
judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa
syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya
Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental,
bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm
Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu.
Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab
fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar
menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya.
Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr
al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih
al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah,
Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd
dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih
karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa,
yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren
memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan
Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail.
Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat
terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian
kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka
menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan
masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya
beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Karomah
Konon, pada suatu waktu pernah beliau
mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu
dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni
rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah
kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah
Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang
untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah
syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari
telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau
itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain juga
diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid
Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw
Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang
ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang
menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak
dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun
terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian
kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat
arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena
masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja
menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling
mendekat.
“
|
“Lihatlah
Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah
Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka
perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah".
Ujar Syaikh Nawawi remaja.
|
”
|
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat
dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid
Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya
ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan
karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh
hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini,
jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai
aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi
bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang
belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat
lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota.
Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah
berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu.
Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama
terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi.
Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah
kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim.
Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang
mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak
lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama
dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak
lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para
petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang
telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam
yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil.
Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan
kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la,
Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh
Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun
tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau.
Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka
lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini
menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari
kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat.
Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab
lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan
beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar