Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat dimaklumi karena sejarah
beliau sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam
menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Falembani
sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti
Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Syaikh Al-Falembani adalah keturunan
Arab, yaitu dari sebelah ayahnya . Syaikh Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahhab
bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani, adalah
ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang dinikahi oleh Syaikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang dinikahi oleh Syaikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Syaikh Abdus Somad mendapat
pendidikan agama awalnya dari ayahnya sendiri, Syaikh Abdul Jalil, di Kedah.
Kemudian Syaikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok pesantren
di negeri Patani. Masa itu memang di Patani telah menjadi tempat menempa
ilmu-ilmu keislaman sistem pondok secara yang lebih mendalam. Kemungkinan
Syaikh Abdus Somad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir
telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang
Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya
terletak di Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah
Syaikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh
beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit
catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi
Syaikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani. Kepada Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok
itulah sehingga membolehkan pelajaran Syaikh Abdus Somad al-Falembani
dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Syaikh Abdus Somad al-Falimbani belajar
kepada Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh
siapa pun, namun sumber asli didapat dari Kampung Pauh Bok sendiri.
Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan
matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan “llmu Alat Dua Belas”. Dalam
bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam
Syafie. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu
kalam/usuluddin menurut faham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam
Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi dari Syaikh Muhammad bin Samman, selain
mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin
Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Oleh karena dari kecil beliau lebih
banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat
bahwa beliau adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang
ilmu tersebut.
Setelah Syaikh Abdus Somad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan
penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi,
Syaikh Abdus Somad telah dipandang alim, karena beliau adalah sebagai kepala
thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha
mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Memang merupakan
satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang
belumlah di pandang memadai, jika tidak sempat mengambil barakah di Mekah dan
Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya
agama Islam itu.
Orang tua Al-Falembani kemudian mengantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan
Madinah. Tidak jelas, kapan beliau diantar ke salah satu pusat ilmu Islam pada
waktu itu. Namun diperkirakan, beliau menginjak dewasa ketika hijrah ke tanah
Arab. Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi
teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan
Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidak bermakna beliau
melupakan negeri leluhurnya. Syaikh Al-Falembani, menurut Azyumardi, tetap
memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di
Nusantara.
Sejak perpindahannya di tanah Arab itu, Syaikh Al-Falembani mengalami perubahan
besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dan
perubahan ini tidak terlepas dari proses pencerahan yang diberikan para
gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut,
antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman
Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam
sejarah Al-Falembani berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais,
Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya
menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, mengangkat dirinya
menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan
ulama Arab, juga Nusantara.
Guru
-Guru :
1. Tuan Faqih Jalaluddin (w.1748) -
Ushuluddin
2. Sayid Hasan bin Umar Idrus - Al-Qur’an
3. Syekh Said bin Muhammad
4. Syekh Abdul Ghani bin Muhammad Al-Hilal
5. Syekh Ibrahim bin Muhammad Zamzami Ar-Rais (w.1780) - Falaq
6. Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi (w.1779) – Fiqih
7. Syekh Sulaiman Ujaili (w.1789) – Tafsir
8. Syekh Atho’illah bin Ahmad (w.1747) – Hadist
9. Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im Ad-Damanhuri (w.1778) – Mantiq
10. Syekh Ahmad Abu As-Sa’adah – Ratib Ahmad Al-Qusyasyi
11. Syekh Muhammal Khalil bin Ali Al-Husaini (w.1791) – Tarikh
12. Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari Al-Misri (w.1772) –Hadist
13. Syekh Muhammad Mirdad
14. Syekh Hasanuddin bin Jakfar Al-Palembani
15. Syekh Murtadha Al-Zabidi
16. Syekh Abdurrahman bin Mustafa Al-Idrus
17. Syekh Thayib bin Jakfar Al-Palembani
18. Syekh Sayid Ahmad bin Muhammad Syarif Makbul Al-Ahdal
19. Syekh Ibrahim Al-Kurani Al-Madani - Tarekat Syattariyah
20. Syekh Muhammad Samman (w.1776) – Tarekat Sammaniyah
2. Sayid Hasan bin Umar Idrus - Al-Qur’an
3. Syekh Said bin Muhammad
4. Syekh Abdul Ghani bin Muhammad Al-Hilal
5. Syekh Ibrahim bin Muhammad Zamzami Ar-Rais (w.1780) - Falaq
6. Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi (w.1779) – Fiqih
7. Syekh Sulaiman Ujaili (w.1789) – Tafsir
8. Syekh Atho’illah bin Ahmad (w.1747) – Hadist
9. Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im Ad-Damanhuri (w.1778) – Mantiq
10. Syekh Ahmad Abu As-Sa’adah – Ratib Ahmad Al-Qusyasyi
11. Syekh Muhammal Khalil bin Ali Al-Husaini (w.1791) – Tarikh
12. Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari Al-Misri (w.1772) –Hadist
13. Syekh Muhammad Mirdad
14. Syekh Hasanuddin bin Jakfar Al-Palembani
15. Syekh Murtadha Al-Zabidi
16. Syekh Abdurrahman bin Mustafa Al-Idrus
17. Syekh Thayib bin Jakfar Al-Palembani
18. Syekh Sayid Ahmad bin Muhammad Syarif Makbul Al-Ahdal
19. Syekh Ibrahim Al-Kurani Al-Madani - Tarekat Syattariyah
20. Syekh Muhammad Samman (w.1776) – Tarekat Sammaniyah
Meskipun mendalami tasawuf, tidak berarti Syaikh Al-Falembani tidak kritis.
Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara
berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan
oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang
terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh. Untuk mencegah apa yang
diperingatkannya itu, Syaikh Al-Falembani menulis semula intisari dua kitab
karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, iaitu
kitab Lubab Ihya ‘Ulumud Diin (Intisari Ihya ‘Ulumud Diin), dan Bidayah
Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini
dinilainya secara moderat dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan
aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syaikh Al-Falembani mengambil jalan tengah
antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wahdatul wujud Ibnu Arabi;
bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang
Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat
tertinggi, sehingga mampu melihat´ Allah swt. sebagai penguasa mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup
besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Beberapa
kitab karangan Syaikh Abdus Somad Al-falembani:
1. Zuhratul Murid
(Mantiq, 1764)
2. Tuhfat Al-Raghibin (1774)
3. Urwat Al-Wusqa (Tarekat Sammaniyah)
4. Ratib Abdus Somad
5. Zad Al-Muttaqin (Tauhid)
6. Siwatha Al-Anwar
7. Fadhail Al-Ihya li Al-Ghazali (Tasawuf)
8. Risalah Aurad dan Zikir
9. Irsyadan Afdhal Al-Jihad
10. Nasihat Al-Muslimin wa Tazkirat Al-Mukminin fi Fadhail Al-Jihad fi Sabilillah (Perang Sabil)
11. Hidayat Al-Salikin (Tasawuf, 1778)
12. Sair As-Salikin (Tasawuf, 1779-1788). dll.
2. Tuhfat Al-Raghibin (1774)
3. Urwat Al-Wusqa (Tarekat Sammaniyah)
4. Ratib Abdus Somad
5. Zad Al-Muttaqin (Tauhid)
6. Siwatha Al-Anwar
7. Fadhail Al-Ihya li Al-Ghazali (Tasawuf)
8. Risalah Aurad dan Zikir
9. Irsyadan Afdhal Al-Jihad
10. Nasihat Al-Muslimin wa Tazkirat Al-Mukminin fi Fadhail Al-Jihad fi Sabilillah (Perang Sabil)
11. Hidayat Al-Salikin (Tasawuf, 1778)
12. Sair As-Salikin (Tasawuf, 1779-1788). dll.
Salah Satu Kitab yang Dikaji di Majelis Ta'lim Syamsidhdhuha |
Salah
satu karya besar Syaikh Abdus Somad al-Falembani yang jarang dibicara orang
ialah Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-‘Alamin. Di Buton, salah satu
manuskrip kitab ini ditulis diatas kertas Eropa bercap Garden of Holland
dan mempunyai 10 halaman dengan menggunakan dakwat hitam dan merah. Tercatat
tahun 1812 yang mungkin menandakan tahun kitab itu selesai dikarang. Satu lagi
salinan manuskrip Zad al-Muttaqin terdiri dari 6 halaman dan turut
menggunakan kertas Eropa. Naskah manuskrip yang pertama membicarakan pembahasan
singkat mengenai ilmu tauhid untuk dijadikan bekal bagi orang-orang bertaqwa
dalam usaha mengenal Allah dan mengetahui keesaan Allah. Dengan itu, derajat
maqam akan ditingkatkan sehingga upaya mencapai tingkatan ahli sufi. Kutipan
awal teks berbunyi; Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Wa bihi nasta’in. Al-hamdu
lillahi Rabb al-alamin, wa as-salat wa as-salam ‘ala sayyidina Muhammadin wa
a’la alihi wa sahbihi ajma’in. Wa ba’du, fahaza awwalu ma alqa ala ustazina
al-a’zam, wa Syaikhina Sayyid asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani
al-Madani amaddanaa Allah bi madadihi, Amin. Dengan maksudnya, Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada Allah kami mohon
pertolongan. Segala puji bagi Allah yang menguasai sekalian alam, rahmat dan
sejahtera atas penghulu kami Nabi Muhammad juga atas keluarganya dan sekalian
sahabatnya. Setelah itu, maka inilah permulaan pemberian tanggungjawab kepada
guru kami yang besar, dan guru kami juga Syaikh Muhammad bin Abdul Karim
as-Sammani al-Madani, mudah-mudahan Allah membantu kami dengan pertolongan-Nya,
Amin.
Kutipan teks diakhir pula berbunyi, bijahi Sayyidina Muhammad wa alihi wa
sahbihi wa sallam, wa sallallah ala sayyidina Muhammad wa alihi wa sahbihi wa
sallim tasliman kasiran da’man ila yaum ad-din, Amin. Wa al-hamdu lillahi Rabb
al-alamin. Dengan maksudnya, Dengan ketinggian pangkat penghulu kami Nabi
Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Maka Allah memberkati mereka disertai
keselamatan untuk selamanya sampai hari Kiamat, Amin. Dan pujian ini hanya
kepada Allah yang mempunyai sekalian alam. Sementara dalam manuskrip kedua,
isinya jelas terdiri dari dua pembahasan iaitu pembahasan tentang fana’
(binasa) dan baqa’ (kekal) bagi orang-orang yang mendalami tasawuf dan
istilah-istilah yang harus diketahui oleh orang-orang yang menempuhi jalan
tasawuf seperti al-wajib iaitu wajib adanya Allah Yang Maha Suci, al-‘Adam
al-mumkin iaitu menerima dengan nyata adanya Allah (juga disebut A’yan
as-Sabitah) dan seterusnya.
Permulaan manuskrip ini adalah sama dengan manuskrip sebelumnya. Seperti
berikut, Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Wa bihi nasta’in. Al-hamdu lillahi
Rabb al-alamin. Wa as-salatu wa as-salamu ala sayyidina ma alqa ala ustazina
al-azam wa mulazina al-afkham qutb az-zaman wa gaus al-Lahfan al-arif billah
bila tara’in wali Allah bila daf’in Maulana wa syaikhina Sayyid Syaikh Muhammad
ibn Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Artinya, Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada Allah kami mohon pertolongan. Segala
puji bagi Allah Tuhan yang mempunyai sekalian alam, rahmat dan sejahtera-Mu
atas penghulu kami Nabi Muhammad dan atas keluarganya dan sekalian sahabatnya.
Setelah itu, inilah awal tanggung jawab terhadap guru kami yang agung disertai
keinginan kami yang besar, pengawal masa dan menolong yang berdukacita yang telah
mengenal Allah tanpa melihatnya, sebagai wali Allah tanpa penolakan yaitu guru
kami Syaikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani.
Ketika Syaikh Abdus Somad berada di Palembang. Beliau amat benci terhadap
Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan Islam sehingga Sulthan tak
berdaya. Diceritakan pula, syarafal anam dipopulerkan di Palemang oleh Syeh
Abdussomad Al Palembani (1736-1818), seorang ulama sufi, penulis dan penyiar
Tarket Sammaniyah yang zikirnya dikenal dengan Ratib Samman. Sebagai ulama, dia
juga pejuang dan penjaga daerah Palembang dari gangguan tangan-tangan yang
tidak bertanggungjawab. Dikisahkan Syekh Abdus Somad memimpin perang. Dalam
pertempuran itu, pasukannya berhasil memukul mundur musuh dengan menggunakan
kekuatan irama dan bebunyian terbangan. Selanjutnya seorang muridnya, Syekh M
Akib Bin Hasanudin mempopuler seni terbangan dengan mengadakan perayaan secara
besar-besaran.
Beliau tidak betah di Palembang walaupun beliau lahir disana. Syaikh
Abdus Somad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun,
semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan shalat istikharah.
Akhirnya, beliau meninggalkan Palembang kembali menuju ke Mekkah.
Syekh Abdus Somad Al-Palembani
bermukim di Tanah Arab seumur hidup. Di sana beliau menikah dengan seorang
wanita berasal dari Yaman Selatan bernama Aisyah binti Idrus Aden. Oleh sebab
itu ia sering mengadakan perjalanan ke Aden, Zabid, Ruaya, dan lain tempat,
guna menjalin tali silaturrahmi dengan keluarga mertuanya serta sekaligus
berdakwah. Dari perkawinan ini, ia dikaruniai 2 orang putri yang diberi nama
Fatimah dan Rukiah. Rukiah kemudian menikah pula dengan pemuda asal Palembang
bernama Kgs.H. Muhammad Zen bin Kgs. Syamsuddin, seorang cucu ulama Besar Faqih
Jalaluddin, juga sekaligus murid dan khalifah Syekh Abdus Somad dalam
menyebarkan ajarannya, terutama Ratib Samman. Selanjutnya puterinya ini
melahirkan 4 orang anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki, masing-masing bernama:
Nyayu Zubaidah, Nyayu Aisyah, Nyayu Hausah dan Kgs. Abdul Karim. Dari
cucu-cucunya ini maka berkembanglah keturunannya sampai sekarang yang sebagian
besar diantara mereka menjabat sebagai Kepenghuluan Palembang seperti: Khatib
Penghulu, Khatib Imam, Khatib, guru agama dan pejabat lainnya yang berdomisili
di suatu pemukiman khusus yang dikenal dengan “Guguk Pengulon” belakang Masjid
Agung (Kampung 19 ilir). Sedangkan nama Syekh Abdus Somad kini diabadikan oleh
pemerintah menjadi salah satu nama sebuah jalan yang terletak di kelurahan 22 –
23 ilir Palembang. (berbagai sumber internet & buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar